Sabtu, 25 Juni 2011

MENELUSURI KELAHIRAN KABUPATEN ACEH BARAT SADURAN DARI BERBAGAI SUMBER OLEH : HAJI TEUKU DADEK, SH


A.      PENDAHULUAN.
Mencari kapan Aceh Barat dilahirkan, maka kita perlu terlebih dahulu menjawab dua pertanyaan pokok, pertama apakah dilihat dari sudut defacto dari kelahiran Aceh Barat atau kedua kelahiran itu dilihat secara juridis. Pertanyaan ini penting, sebab pola peringatan kelahiran sebuah Kabupaten dan Kota ini ada yang menganut peringatan kelahiran secara defacto seperti yang dilakukan Kota Banda Aceh yang sudah berumur ratusan tahun dan peringatan secara juridis sebagaimana yang dilakukan oleh Nagan Raya dan Aceh Jaya sesuai dengan disahkannya pembentukan UU pembentukan Kabupaten tersebut.

B.      SEJARAH KELAHIRAN SECARA DEFACTO.
Wilayah bagian barat Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun pada abad ke XVI Masehi atas prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588 - 1604 M), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang hidup tahun (1607-1636 M) dengan mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie.
Daerah ramai pertama adalah di teluk Meulaboh (Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang raja yang bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya (Kecamatan Jaya) yang pada akhir abad ke XV M telah berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dengan gelar Poteu Meureuhom Daya.
Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad XVII telah berkembang menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Uleebalang, yaitu : Kluang; Lamno; Kuala Lambeusoe; Kuala Daya; Kuala Unga; Babah Awe; Krueng No; Cara' Mon; Lhok Kruet; Babah Nipah; Lageun; Lhok Geulumpang; Rameue; Lhok Rigaih; Krueng Sabee; Teunom; Panga; Woyla; Bubon; Lhok Bubon; Meulaboh; Seunagan; Tripa; Seuneu'am; Tungkop; Beutong; Pameue; Teupah (Tapah); Simeulue; Salang; Leukon; Sigulai.
Sejarah Aceh Barat tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Kota Meulaboh, yang dulu disebut dengan Pasi Karam.

1.       Pasi Karam
                Ada beberapa ahli sejarah yang telah menulis tentang sejarah negeri Meulaboh, Saya pada dasarnya hanya mengutip beberapa pendapat yang kemudian disesuaikan dengan kenyataan yang ada, tulisan ini tentunya hanya tulisan yang saya susun berdasarkan pandangan saya, sejarah ini pun bukan hanya mengambarkan bagaimana Meulaboh khususnya terbentuk tetapi juga perkembangan Aceh Barat dari waktu ke waktu (saat mulai terbentuk sampai dihantam stunami).
Salah satu sumber sejarah yang banyak dikutip tentang sejarah Meulaboh adalah dari H M Zainuddin, yang pada sekitar tahun 1950 pernah datang ke Meulaboh untuk menggali sejarah kota tersebut,  demikian penuturan Teuku Tjut Yatim, mantan Camat Johan Pahlawan kepada saya pada tanggal 11 April 2010 di sela-sela peringatan Maulid di Masjid Ujong Kalak yang juga waktu itu didampingi Teuku Daud yang juga menghadiri acara dimaksud.
Dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara (1961) yang ditulisnya H.M.Zainuddin ia mengatakan bahwa asal mula Meulaboh bernama Negeri Pasir Karam. Negeri itu dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604) atau jauh sebelum datangnya para datuk dari MInang. Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya, namun ketika itu Negeri Pasi Karam bukannya hanya wilayah Kota Meulaboh sekarang ini, kemungkinan Bubon, Samatiga, Rantau Panyang, Meureubo dan lainnya juga termasuk Negeri Pasi Karam.
Ketika itu Meulaboh didiami oleh orang-orang Mante yang rajanya atau pemimpinnya bergelar gelar Meurah dan Meugat dan mereka walaupun tunduk kepada Sultan di Kutaraja atau Banda Aceh sekarang namun mereka tetap sebagai sebuah masyarakat bebas dan pada masa Sultan Iskandar Muda yang sangat sentralistik, yang ingin mempertegas keberadaan pemerintahannya di sekitar Aceh Barat sekarang. Namun ketika itu wilayah yang sekarang dikenal Kota Meulaboh belum begitu ramai, dan golongan Mante ini memberontak terhadap Sultan Aceh, karenanya terjadi peperangan dengan masyarakat Mante tersebut,  dan ketika itu pihak Sultan Aceh juga dibantu oleh pedatang Minang yang akan kami ceritakan nanti.
Menurut H.M.Zainuddin dalam Meulaboh dulu dikenal sebagai Negeri Pasir Karam. Kedatangan orang Minangkabau yang lari dari negerinya membuat perkebunan di daerah itu maju. Ungkapan “Disikolah kito berlaboh” disebut-sebut sebagai asal mula nama Meulaboh.
Di negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.
Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). Sampai di Teluk Pasir Karam (Di Pantai Kasih sekarang) pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh “Disikolah kito berlaboh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata berlaboh.
Inti cerita perang ini adalah tentang makin kuatnya garakan Paderi melakukan penyerangan terhadap kaum adat yang menguasai Kerajaan Minangkabau di istana Pagaruyung. Dampaknya berpengaruh kepada para penghulu pemangku adat, yakni para datuk yang menjadi kepala suku di luhak nan tigo. Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Koto. (Luhak-luhak tersebut sekarang disebut kabupaten).
Salah seorang datuk yang merupakan kaum bangsawan dari keluarga Kerajaan Minangkabau itu, adalah Datuk Rajo Agam, penghulu suku Sikumbang di Luhak Agam. Bersama Datuk Rajo Alam dari Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh Koto, mereka bersepakat menghindari pertumpahan darah, mengungsi ke arah Utara. Dengan menaiki beberapa perahu di pelabuhan Tanjung Mutiara rombongan berlayar ke arah Utara (ke arah Aceh). Dan berlabuh di suatu negeri pantai yang waktu itu bernama Pasir Karam.
Namun ada juga yang mengatakan mengapa para datok itu ingin ke Aceh karena mereka pada dasarnya adalah orang Aceh yang sudah berbaur dan memiliki pengaruh sejak Sumatera Barat diambil alih oleh Sultan Iskandar Muda, karena sudah terdesak dengan kaum Paderi disana mereka ingin kembali ke Aceh yang masih beluim dikuasai Belanda.
Kedatangan bangsa Minangkabau ke daratan Aceh, yang dulunya bernama Pasir Karam ini diperkirakan awal mula munculnya kata Meulaboh, dimana para pendatang itu kemudian mengucapkan kata: “… di sikolah kito belaboh…” dan pengucapan kata itu hari demi hari ini menjadi sebuah kebiasaan masyarakat yang pada masa dulu menjadikan sebuah cirikhas daerah menjadi nama daerah tersebut.
Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Wolyla, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Merabou dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.
Sama dengan masyarakat setempat, ketiga Datuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yang dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.
Ketika menghadap Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.
Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerrima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama Teuku Tjiek Purba Lela. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.
Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.
Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hokum Syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teungku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.
Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah (1841-1870) karena semakin banyaknya orang-orang dari Minangkabau yang pindah ke sana, karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda. Di sana mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.
Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keudruen Tjiek Ujong Kala.
Disebut Kaway XVI karena fedrasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu 1, Uleebalang Tanjong, 2, Ujong Kalak, 3, Seunagan, 4. Teuripa, 5. Woyla, 6. Peureumbeu, 7.Gunoeng Meuh, 8. Kuala Meureuboe, 9. Ranto Panyang, 10. Reudeub, 11. Lango 12. Tangkadeuen, 13. Keuntjo, 14. Gume/Mugo, 15. Tadu, serta 16. Seuneu’am.
Selain federasi Kaway XVI, di perbatasan Aceh Barat dan Pidie juga terbentuk federasi XII yang terdiri dari 12 Uleebalang yaitu: 1. Pameu, 2. Ara, 3. Lang Jeue, 4. Reungeuet, 5. Geupho, 6. Reuhat, 7. Tungkup/Dulok, 8. Tanoh Mirah/Tutut, 9. Geumpang, 10. Tangse, 11. Beunga, serta 12. Keumala. Federasi XII ini dipalai oleh seorang Kejruen yang berkedudukan di Geumpang.
 Setelah membuka 3 buah buku tentang sejarah Aceh yaitu Aceh Sepanjang Abad, Atjeh dan Nusantara serta buku kopian dari perpustakaan Ali Hasyimi (judulnya sudah tidak jelas lagi), tulisan pun dimulai. Dimulai dengan sebuah judul yang unik dibandingkan dengan tulisan terdahulu. Unik karena mengandung unsur kata dari daerah Minangkabau. Unik karena ini cerita tentang Meulaboh, bukan daerah di Semenanjung Mentawai, tapi di Semenanjung Barat Aceh.
Nama Meulaboh tak akan dipisahkan dari 2 perang besar di Jaman Belanda yang terjadi pada 2 daerah berbasis Islam terbesar di Pulau Andalas (Sumatera) yaitu Aceh dan Minangkabau. Jika di daratan Minang dikenal adanya perang padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Perang ini melibatkan 2 pihak bersaudara sesama muslim antara kaum paderi yang membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan di Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Jadi Meulaboh menjadi Saksi bisu, 2 perang yang berkecamuk di masa dahulu, yaitu perang Paderi di Minangkabau antara Kaum kerajaan dan kaum paderi serta perang Aceh yang salah satu daerahnya dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien melawan tentara Belanda di Pantai Barat Aceh.
Kini di Meulaboh, dibangun jalan dari Banda Aceh sepanjang jarak Banda Aceh Meulaboh, diharapkan panjangnya jalan itu, menjadikan panjang pula cita-cita masyarakat Kawasan Barat Aceh untuk kembali bangkit dan mulai membangun untuk kemakmuran Aceh dan demi Kemakmuran Muslim Seluruh Dunia.

2.       Masa Belanda
Dimasa penjajahan Belanda, melalui suatu perjanjian (Korte Verklaring), diakui bahwa masing-masing Uleebalang dapat menjalankan pemerintahan sendiri (Zelfsbestuur) atau swaparaja (landschap).
Oleh Belanda Kerajaan Aceh dibentuk menjadi Gouvernement Atjeh en Onderhorigheden (Gubernemen Aceh dan Daerah Taklukannya) dan selanjutnya dengan dibentuknya Gouvernement Sumatera, Aceh dijadikan Keresidenan yang dibagi atas beberapa wilayah yang disebut afdeeling (propinsi) dan afdeeling dibagi lagi atas beberapa onderafdeeling (kabupaten) dan onderafdeeling dibagi menjadi beberapa landschap (kecamatan).
Seluruh wilayah Keresidenan Aceh dibagi menjadi 4 (empat) afdeeling yang salah satunya adalah Afdeeling Westkust van Atjeh atau Aceh Barat dengan ibukotanya Meulaboh. Afdeeling Westkust van Atjeh (Aceh Barat) merupakan suatu daerah administratif yang meliputi wilayah sepanjang pantai barat Aceh, dari gunung Geurutee sampai daerah Singkil dan kepulauan Simeulue serta dibagi menjadi 6 (enam) onderafdeeling, yaitu : Meulaboh dengan ibukota Meulaboh dengan Landschappennya Kaway XVI, Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Seunagan, Seuneu'am, Beutong, Tungkop dan Pameue;Tjalang dengan ibukota Tjalang (dan sebelum tahun 1910 ibukotanya adalah Lhok Kruet) dengan Landschappennya Keluang, Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek, Lageun, Rigaih, Krueng Sabee dan Teunom;
Tapaktuan dengan ibukota Tapak Tuan; Simeulue dengan ibukota Sinabang dengan Landschappennya Teupah, Simalur, Salang, Leukon dan Sigulai; Zuid Atjeh dengan ibukota Bakongan; Singkil dengan ibukota Singkil.

3.       Zaman Jepang
Di zaman penjajahan Jepang (1942 - 1945) struktur wilayah administrasi ini tidak banyak berubah kecuali penggantian nama dalam bahasa Jepang, seperti Afdeeling mejadi Bunsyu yang dikepalai oleh Bunsyucho, Onderafdeeling menjadi Gun yang dikepalai oleh Guncho dan Landschap menjadi Son yang dikepalai oleh Soncho.

C.      SEJARAH KELAHIRAN SECARA YURIDIS.
Namun jika ditelusuri tentang pembentukan Aceh Barat berdasarkan UU yang ada, maka kita harus menelusuri Undang-undang pokok pembentuan daerah otonom dan okok pemerintahan daerah-daerah otonom.
1.      UU  No.22 tahun 1948  tentang Pokok-pokok Pemda yang membagi wilayah Indonesia menjadi: : 1. Propinsi Jawa Timur, 2. Propinsi Jawa Tengah, 3. Propinsi Jawa Barat, 4. Propinsi Sumatera Selatan, 5. Propinsi Sumatera Tengah, 6. Propinsi Sumatera Utara, dan 7. Propinsi Kalimantan, sedang yang 3 buah lainnya, yaitu: 1. Propinsi Maluku, 2. Propinsi Sulawesi, dan 3. Propinsi Nusa Tenggara, masih saja merupakan daerah-daerah administratip yang berdasarkan Peraturan Pemerintah R.I.S. No.21 tersebut di atas belum dapat menjalankan hak-hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai Propinsi otonom. Artinya Propinsi Aceh belum lahir, dan masih merupakan bagian dari Sumatera Utara. Jika kita mengambil UU Nomor 22 Tahun 1948, maka tanggal  tanggal 10 Juli 1948 menjadi waktu terbentuknya Kabupaten Aceh Barat yang merupakan bagian dari Propinsi Administratif Sumatera Utara.
2.       Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 (Drt) Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Utara, wilayah Aceh Barat dimekarkan mejadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukota Meulaboh terdiri dari tiga wilayah yaitu Meulaboh, Calang dan Simeulue, dengan jumlah kecamatan sebanyak 19 (sembilan belas) Kecamatan yaitu Kaway XVI(Johan Pahlwan); Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya; Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang. Sedangkan Kabupaten Aceh Selatan, meliputi wilayah Tapak Tuan, Bakongan dan Singkil dengan ibukotanya Tapak Tuan. Namun, jika kita memegang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103), maka Aceh Barat lahir bersamaan dengan ditetapkannya UU Nomor 24 Tahun 1956 yang disahkan pada tanggal 29 Nopember 1956.Pada Tahun 1996 Kabupaten Aceh Barat dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat meliputi kecamatan Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya dengan ibukotanya Meulaboh dan Kabupaten Adminstrtif Simeulue meliputi kecamatan Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang dengan ibukotanya Sinabang.
Kemudian pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5, Kabupaten Aceh Barat dimekarkan dengan menambah 6 (enam) kecamatan baru yaitu Kecamatan Panga; Arongan Lambalek; Bubon; Pantee Ceureumen; Meureubo dan Seunagan Timur. Dengan pemekaran ini Kabupaten Aceh Barat memiliki 20 (dua puluh) Kecamatan, 7 (tujuh) Kelurahan dan 207 Desa.
Selanjutnya pada tahun 2002 kabupaten Aceh Barat daratan yang luasnya 1.010.466 Ha, kini telah dimekarkan menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat dengan dikeluarkannya Undang-undang N0.4 Tahun 2002.


D.    KESIMPULAN
1.       Jika kita telusuri kelahiran Aceh Barat jauh masa kerajaan maka dapat kita sebutkan bahwa Aceh Barat telah ada sejak Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang berkuasa antara tahun 1588 - 1604 M), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang berkuasa tahun (1607-1636 M). Atau dapat kita simpulkan bahwa Aceh Barat telah berumur lebih kurang 422 Tahun yang dihitung dari berkuasanya Saidil Mukamil tepat tahun 1588. Namun tidak diketahui tanggal dan bulannya, namun model  diperingati oleh Kota Madya Banda Aceh.
2.       Jika kita merujuk kepada UU pembentukan Aceh Barat berdasarkan UU yang ada, maka kita harus menelusuri Undang-undang pokok pemerintahan daerah-daerah otonom No.22 tahun 1948 yang membagi wilayah Indonesia menjadi: : 1. Propinsi Jawa Timur, 2. Propinsi Jawa Tengah, 3. Propinsi Jawa Barat, 4. Propinsi Sumatera Selatan, 5. Propinsi Sumatera Tengah, 6. Propinsi Sumatera Utara, dan 7. Propinsi Kalimantan, sedang yang 3 buah lainnya, yaitu: 1. Propinsi Maluku, 2. Propinsi Sulawesi, dan 3. Propinsi Nusa Tenggara, masih saja merupakan daerah-daerah administratip yang berdasarkan Peraturan Pemerintah R.I.S. No.21 tersebut di atas belum dapat menjalankan hak-hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai Propinsi otonom. Artinya Propinsi Aceh belum lahir, dan masih merupakan bagian dari Sumatera Utara. Jika kita mengambil UU Nomor 22 Tahun 1948, maka tanggal  tanggal 10 Juli 1948 menjadi waktu terbentuknya Kabupaten Aceh Barat yang merupakan bagian dari Propinsi Administratif Sumatera Utara.
3.       Namun, jika kita memegang Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1092), maka Kabupaten Aceh Barat lahir  tanggal 24 November 1956.
4.       Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Propinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 40) ;maka Aceh Barat lahir bersamaan dengan ditetapkannya UU Nomor 24 Tahun 1956 yang disahkan pada tanggal 29 Nopember 1956.Dengan demikian hari lahirnya Aceh Barat dapat ditetapkan pada tanggal 29 November 1956. (UU terlampir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar