Sabtu, 25 Juni 2011

Tonyaxs,Ayex,Faisal Odezza




MENELUSURI KELAHIRAN KABUPATEN ACEH BARAT SADURAN DARI BERBAGAI SUMBER OLEH : HAJI TEUKU DADEK, SH


A.      PENDAHULUAN.
Mencari kapan Aceh Barat dilahirkan, maka kita perlu terlebih dahulu menjawab dua pertanyaan pokok, pertama apakah dilihat dari sudut defacto dari kelahiran Aceh Barat atau kedua kelahiran itu dilihat secara juridis. Pertanyaan ini penting, sebab pola peringatan kelahiran sebuah Kabupaten dan Kota ini ada yang menganut peringatan kelahiran secara defacto seperti yang dilakukan Kota Banda Aceh yang sudah berumur ratusan tahun dan peringatan secara juridis sebagaimana yang dilakukan oleh Nagan Raya dan Aceh Jaya sesuai dengan disahkannya pembentukan UU pembentukan Kabupaten tersebut.

B.      SEJARAH KELAHIRAN SECARA DEFACTO.
Wilayah bagian barat Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun pada abad ke XVI Masehi atas prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588 - 1604 M), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang hidup tahun (1607-1636 M) dengan mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie.
Daerah ramai pertama adalah di teluk Meulaboh (Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang raja yang bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya (Kecamatan Jaya) yang pada akhir abad ke XV M telah berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dengan gelar Poteu Meureuhom Daya.
Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad XVII telah berkembang menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Uleebalang, yaitu : Kluang; Lamno; Kuala Lambeusoe; Kuala Daya; Kuala Unga; Babah Awe; Krueng No; Cara' Mon; Lhok Kruet; Babah Nipah; Lageun; Lhok Geulumpang; Rameue; Lhok Rigaih; Krueng Sabee; Teunom; Panga; Woyla; Bubon; Lhok Bubon; Meulaboh; Seunagan; Tripa; Seuneu'am; Tungkop; Beutong; Pameue; Teupah (Tapah); Simeulue; Salang; Leukon; Sigulai.
Sejarah Aceh Barat tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Kota Meulaboh, yang dulu disebut dengan Pasi Karam.

1.       Pasi Karam
                Ada beberapa ahli sejarah yang telah menulis tentang sejarah negeri Meulaboh, Saya pada dasarnya hanya mengutip beberapa pendapat yang kemudian disesuaikan dengan kenyataan yang ada, tulisan ini tentunya hanya tulisan yang saya susun berdasarkan pandangan saya, sejarah ini pun bukan hanya mengambarkan bagaimana Meulaboh khususnya terbentuk tetapi juga perkembangan Aceh Barat dari waktu ke waktu (saat mulai terbentuk sampai dihantam stunami).
Salah satu sumber sejarah yang banyak dikutip tentang sejarah Meulaboh adalah dari H M Zainuddin, yang pada sekitar tahun 1950 pernah datang ke Meulaboh untuk menggali sejarah kota tersebut,  demikian penuturan Teuku Tjut Yatim, mantan Camat Johan Pahlawan kepada saya pada tanggal 11 April 2010 di sela-sela peringatan Maulid di Masjid Ujong Kalak yang juga waktu itu didampingi Teuku Daud yang juga menghadiri acara dimaksud.
Dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara (1961) yang ditulisnya H.M.Zainuddin ia mengatakan bahwa asal mula Meulaboh bernama Negeri Pasir Karam. Negeri itu dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604) atau jauh sebelum datangnya para datuk dari MInang. Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya, namun ketika itu Negeri Pasi Karam bukannya hanya wilayah Kota Meulaboh sekarang ini, kemungkinan Bubon, Samatiga, Rantau Panyang, Meureubo dan lainnya juga termasuk Negeri Pasi Karam.
Ketika itu Meulaboh didiami oleh orang-orang Mante yang rajanya atau pemimpinnya bergelar gelar Meurah dan Meugat dan mereka walaupun tunduk kepada Sultan di Kutaraja atau Banda Aceh sekarang namun mereka tetap sebagai sebuah masyarakat bebas dan pada masa Sultan Iskandar Muda yang sangat sentralistik, yang ingin mempertegas keberadaan pemerintahannya di sekitar Aceh Barat sekarang. Namun ketika itu wilayah yang sekarang dikenal Kota Meulaboh belum begitu ramai, dan golongan Mante ini memberontak terhadap Sultan Aceh, karenanya terjadi peperangan dengan masyarakat Mante tersebut,  dan ketika itu pihak Sultan Aceh juga dibantu oleh pedatang Minang yang akan kami ceritakan nanti.
Menurut H.M.Zainuddin dalam Meulaboh dulu dikenal sebagai Negeri Pasir Karam. Kedatangan orang Minangkabau yang lari dari negerinya membuat perkebunan di daerah itu maju. Ungkapan “Disikolah kito berlaboh” disebut-sebut sebagai asal mula nama Meulaboh.
Di negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.
Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). Sampai di Teluk Pasir Karam (Di Pantai Kasih sekarang) pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh “Disikolah kito berlaboh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata berlaboh.
Inti cerita perang ini adalah tentang makin kuatnya garakan Paderi melakukan penyerangan terhadap kaum adat yang menguasai Kerajaan Minangkabau di istana Pagaruyung. Dampaknya berpengaruh kepada para penghulu pemangku adat, yakni para datuk yang menjadi kepala suku di luhak nan tigo. Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Koto. (Luhak-luhak tersebut sekarang disebut kabupaten).
Salah seorang datuk yang merupakan kaum bangsawan dari keluarga Kerajaan Minangkabau itu, adalah Datuk Rajo Agam, penghulu suku Sikumbang di Luhak Agam. Bersama Datuk Rajo Alam dari Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh Koto, mereka bersepakat menghindari pertumpahan darah, mengungsi ke arah Utara. Dengan menaiki beberapa perahu di pelabuhan Tanjung Mutiara rombongan berlayar ke arah Utara (ke arah Aceh). Dan berlabuh di suatu negeri pantai yang waktu itu bernama Pasir Karam.
Namun ada juga yang mengatakan mengapa para datok itu ingin ke Aceh karena mereka pada dasarnya adalah orang Aceh yang sudah berbaur dan memiliki pengaruh sejak Sumatera Barat diambil alih oleh Sultan Iskandar Muda, karena sudah terdesak dengan kaum Paderi disana mereka ingin kembali ke Aceh yang masih beluim dikuasai Belanda.
Kedatangan bangsa Minangkabau ke daratan Aceh, yang dulunya bernama Pasir Karam ini diperkirakan awal mula munculnya kata Meulaboh, dimana para pendatang itu kemudian mengucapkan kata: “… di sikolah kito belaboh…” dan pengucapan kata itu hari demi hari ini menjadi sebuah kebiasaan masyarakat yang pada masa dulu menjadikan sebuah cirikhas daerah menjadi nama daerah tersebut.
Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Wolyla, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Merabou dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.
Sama dengan masyarakat setempat, ketiga Datuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yang dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.
Ketika menghadap Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.
Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerrima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama Teuku Tjiek Purba Lela. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.
Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.
Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hokum Syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teungku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.
Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah (1841-1870) karena semakin banyaknya orang-orang dari Minangkabau yang pindah ke sana, karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda. Di sana mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.
Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keudruen Tjiek Ujong Kala.
Disebut Kaway XVI karena fedrasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu 1, Uleebalang Tanjong, 2, Ujong Kalak, 3, Seunagan, 4. Teuripa, 5. Woyla, 6. Peureumbeu, 7.Gunoeng Meuh, 8. Kuala Meureuboe, 9. Ranto Panyang, 10. Reudeub, 11. Lango 12. Tangkadeuen, 13. Keuntjo, 14. Gume/Mugo, 15. Tadu, serta 16. Seuneu’am.
Selain federasi Kaway XVI, di perbatasan Aceh Barat dan Pidie juga terbentuk federasi XII yang terdiri dari 12 Uleebalang yaitu: 1. Pameu, 2. Ara, 3. Lang Jeue, 4. Reungeuet, 5. Geupho, 6. Reuhat, 7. Tungkup/Dulok, 8. Tanoh Mirah/Tutut, 9. Geumpang, 10. Tangse, 11. Beunga, serta 12. Keumala. Federasi XII ini dipalai oleh seorang Kejruen yang berkedudukan di Geumpang.
 Setelah membuka 3 buah buku tentang sejarah Aceh yaitu Aceh Sepanjang Abad, Atjeh dan Nusantara serta buku kopian dari perpustakaan Ali Hasyimi (judulnya sudah tidak jelas lagi), tulisan pun dimulai. Dimulai dengan sebuah judul yang unik dibandingkan dengan tulisan terdahulu. Unik karena mengandung unsur kata dari daerah Minangkabau. Unik karena ini cerita tentang Meulaboh, bukan daerah di Semenanjung Mentawai, tapi di Semenanjung Barat Aceh.
Nama Meulaboh tak akan dipisahkan dari 2 perang besar di Jaman Belanda yang terjadi pada 2 daerah berbasis Islam terbesar di Pulau Andalas (Sumatera) yaitu Aceh dan Minangkabau. Jika di daratan Minang dikenal adanya perang padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Perang ini melibatkan 2 pihak bersaudara sesama muslim antara kaum paderi yang membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan di Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Jadi Meulaboh menjadi Saksi bisu, 2 perang yang berkecamuk di masa dahulu, yaitu perang Paderi di Minangkabau antara Kaum kerajaan dan kaum paderi serta perang Aceh yang salah satu daerahnya dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien melawan tentara Belanda di Pantai Barat Aceh.
Kini di Meulaboh, dibangun jalan dari Banda Aceh sepanjang jarak Banda Aceh Meulaboh, diharapkan panjangnya jalan itu, menjadikan panjang pula cita-cita masyarakat Kawasan Barat Aceh untuk kembali bangkit dan mulai membangun untuk kemakmuran Aceh dan demi Kemakmuran Muslim Seluruh Dunia.

2.       Masa Belanda
Dimasa penjajahan Belanda, melalui suatu perjanjian (Korte Verklaring), diakui bahwa masing-masing Uleebalang dapat menjalankan pemerintahan sendiri (Zelfsbestuur) atau swaparaja (landschap).
Oleh Belanda Kerajaan Aceh dibentuk menjadi Gouvernement Atjeh en Onderhorigheden (Gubernemen Aceh dan Daerah Taklukannya) dan selanjutnya dengan dibentuknya Gouvernement Sumatera, Aceh dijadikan Keresidenan yang dibagi atas beberapa wilayah yang disebut afdeeling (propinsi) dan afdeeling dibagi lagi atas beberapa onderafdeeling (kabupaten) dan onderafdeeling dibagi menjadi beberapa landschap (kecamatan).
Seluruh wilayah Keresidenan Aceh dibagi menjadi 4 (empat) afdeeling yang salah satunya adalah Afdeeling Westkust van Atjeh atau Aceh Barat dengan ibukotanya Meulaboh. Afdeeling Westkust van Atjeh (Aceh Barat) merupakan suatu daerah administratif yang meliputi wilayah sepanjang pantai barat Aceh, dari gunung Geurutee sampai daerah Singkil dan kepulauan Simeulue serta dibagi menjadi 6 (enam) onderafdeeling, yaitu : Meulaboh dengan ibukota Meulaboh dengan Landschappennya Kaway XVI, Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Seunagan, Seuneu'am, Beutong, Tungkop dan Pameue;Tjalang dengan ibukota Tjalang (dan sebelum tahun 1910 ibukotanya adalah Lhok Kruet) dengan Landschappennya Keluang, Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek, Lageun, Rigaih, Krueng Sabee dan Teunom;
Tapaktuan dengan ibukota Tapak Tuan; Simeulue dengan ibukota Sinabang dengan Landschappennya Teupah, Simalur, Salang, Leukon dan Sigulai; Zuid Atjeh dengan ibukota Bakongan; Singkil dengan ibukota Singkil.

3.       Zaman Jepang
Di zaman penjajahan Jepang (1942 - 1945) struktur wilayah administrasi ini tidak banyak berubah kecuali penggantian nama dalam bahasa Jepang, seperti Afdeeling mejadi Bunsyu yang dikepalai oleh Bunsyucho, Onderafdeeling menjadi Gun yang dikepalai oleh Guncho dan Landschap menjadi Son yang dikepalai oleh Soncho.

C.      SEJARAH KELAHIRAN SECARA YURIDIS.
Namun jika ditelusuri tentang pembentukan Aceh Barat berdasarkan UU yang ada, maka kita harus menelusuri Undang-undang pokok pembentuan daerah otonom dan okok pemerintahan daerah-daerah otonom.
1.      UU  No.22 tahun 1948  tentang Pokok-pokok Pemda yang membagi wilayah Indonesia menjadi: : 1. Propinsi Jawa Timur, 2. Propinsi Jawa Tengah, 3. Propinsi Jawa Barat, 4. Propinsi Sumatera Selatan, 5. Propinsi Sumatera Tengah, 6. Propinsi Sumatera Utara, dan 7. Propinsi Kalimantan, sedang yang 3 buah lainnya, yaitu: 1. Propinsi Maluku, 2. Propinsi Sulawesi, dan 3. Propinsi Nusa Tenggara, masih saja merupakan daerah-daerah administratip yang berdasarkan Peraturan Pemerintah R.I.S. No.21 tersebut di atas belum dapat menjalankan hak-hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai Propinsi otonom. Artinya Propinsi Aceh belum lahir, dan masih merupakan bagian dari Sumatera Utara. Jika kita mengambil UU Nomor 22 Tahun 1948, maka tanggal  tanggal 10 Juli 1948 menjadi waktu terbentuknya Kabupaten Aceh Barat yang merupakan bagian dari Propinsi Administratif Sumatera Utara.
2.       Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 (Drt) Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Utara, wilayah Aceh Barat dimekarkan mejadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukota Meulaboh terdiri dari tiga wilayah yaitu Meulaboh, Calang dan Simeulue, dengan jumlah kecamatan sebanyak 19 (sembilan belas) Kecamatan yaitu Kaway XVI(Johan Pahlwan); Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya; Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang. Sedangkan Kabupaten Aceh Selatan, meliputi wilayah Tapak Tuan, Bakongan dan Singkil dengan ibukotanya Tapak Tuan. Namun, jika kita memegang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103), maka Aceh Barat lahir bersamaan dengan ditetapkannya UU Nomor 24 Tahun 1956 yang disahkan pada tanggal 29 Nopember 1956.Pada Tahun 1996 Kabupaten Aceh Barat dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat meliputi kecamatan Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya dengan ibukotanya Meulaboh dan Kabupaten Adminstrtif Simeulue meliputi kecamatan Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang dengan ibukotanya Sinabang.
Kemudian pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5, Kabupaten Aceh Barat dimekarkan dengan menambah 6 (enam) kecamatan baru yaitu Kecamatan Panga; Arongan Lambalek; Bubon; Pantee Ceureumen; Meureubo dan Seunagan Timur. Dengan pemekaran ini Kabupaten Aceh Barat memiliki 20 (dua puluh) Kecamatan, 7 (tujuh) Kelurahan dan 207 Desa.
Selanjutnya pada tahun 2002 kabupaten Aceh Barat daratan yang luasnya 1.010.466 Ha, kini telah dimekarkan menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat dengan dikeluarkannya Undang-undang N0.4 Tahun 2002.


D.    KESIMPULAN
1.       Jika kita telusuri kelahiran Aceh Barat jauh masa kerajaan maka dapat kita sebutkan bahwa Aceh Barat telah ada sejak Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang berkuasa antara tahun 1588 - 1604 M), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang berkuasa tahun (1607-1636 M). Atau dapat kita simpulkan bahwa Aceh Barat telah berumur lebih kurang 422 Tahun yang dihitung dari berkuasanya Saidil Mukamil tepat tahun 1588. Namun tidak diketahui tanggal dan bulannya, namun model  diperingati oleh Kota Madya Banda Aceh.
2.       Jika kita merujuk kepada UU pembentukan Aceh Barat berdasarkan UU yang ada, maka kita harus menelusuri Undang-undang pokok pemerintahan daerah-daerah otonom No.22 tahun 1948 yang membagi wilayah Indonesia menjadi: : 1. Propinsi Jawa Timur, 2. Propinsi Jawa Tengah, 3. Propinsi Jawa Barat, 4. Propinsi Sumatera Selatan, 5. Propinsi Sumatera Tengah, 6. Propinsi Sumatera Utara, dan 7. Propinsi Kalimantan, sedang yang 3 buah lainnya, yaitu: 1. Propinsi Maluku, 2. Propinsi Sulawesi, dan 3. Propinsi Nusa Tenggara, masih saja merupakan daerah-daerah administratip yang berdasarkan Peraturan Pemerintah R.I.S. No.21 tersebut di atas belum dapat menjalankan hak-hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai Propinsi otonom. Artinya Propinsi Aceh belum lahir, dan masih merupakan bagian dari Sumatera Utara. Jika kita mengambil UU Nomor 22 Tahun 1948, maka tanggal  tanggal 10 Juli 1948 menjadi waktu terbentuknya Kabupaten Aceh Barat yang merupakan bagian dari Propinsi Administratif Sumatera Utara.
3.       Namun, jika kita memegang Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1092), maka Kabupaten Aceh Barat lahir  tanggal 24 November 1956.
4.       Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Propinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 40) ;maka Aceh Barat lahir bersamaan dengan ditetapkannya UU Nomor 24 Tahun 1956 yang disahkan pada tanggal 29 Nopember 1956.Dengan demikian hari lahirnya Aceh Barat dapat ditetapkan pada tanggal 29 November 1956. (UU terlampir)

Sabtu, 04 Juni 2011

HABIB MUDA SEUNAGAN DARI TANAH RENCONG


HABIB MUDA SEUNAGAN DARI TANAH RENCONG
Dikutip Dari : Koran Digital Duta Masyarakat

Perjuangan bangsa Indonesia sejak dulu kala mulai dari merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan tidak terlepas dari peran ulama. Sebagai panutan umat, ulama mempunyai peran strategis dalam membimbing dan mengarahkan umat agar senantiasa menjalani hidup dalam koridor nilai-nilai ke-Illahi-an atau penjaga moral. Ulama juga menjadi pemimpin dalam segala aspek kehidupan atau informal leadher, termasuk dalam kehidupan politik dan kebangsaan.

Meksi kepemimpinan ulama bersifat informal, namun pengaruhnya di masyarakat justru kadang lebih kuat daripada pemimpin formal seperti bupati/walikota, gubernur dan bahkan presiden sekalipun. Ketulusan dan keikhlasan ulama dalam membimbing dan melindungi umat menjadikannya pemimpin yang mengakar dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

Abu Habib Muda Seunagan yang mempunyai nama asli Habib Muhammad Yeddin bin Habib Muhammad Yasin adalah sosok ulama kharismatik. Beliau seorang guru atau mursyid Thariqat Syattariah. Selain seorang ulama yang disegani, Habib yang dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama oleh Presiden B.J. Habibie ini juga seorang pejuang kemerdekaan yang mempunyai komitmen kuat dan setia demi tetap tegaknya NKRI.

Demikian sekilas tentang profil diri Habib Muda Saunagan dalam buku yang diterbitkan oleh PT. Karya Sukses Sentosa dengan penanggung jawabnya Dra. Hj. Y. Wage SK. Dalam buku tersebut, oleh penulisnya diceritakan secara apa adanya kiprah Abu Habib Muda Seunagan dalam masa perjuangan merebut kemerdekaan dan masa-masa mempertahankan kemerdekaan. Baik pada masa pendudukan tentara Jepang, maupun pada masa agresi militer I dan II oleh Belanda. Habib pernah mengirim 160 personil Lasykar Jihad dalam peperangan yang disebut Sidikalang di Tapanuli Utara yaitu pada masa agresi militer II. Lasykar Jihad merupakan pasukan yang ia bentuk yang terdiri dari murid-muridnya yang terlatih dan terpilih. Habib sendiri yang membentuk pasukan tersebut untuk menghadapi tentara Belanda..

Suasana heroisme dan patriotisme para murid-murid Abu Habib Muda Seunagan yang tergabung dalam pasukan Lasykar Jihad saat melawan Belanda oleh penulis juga diceritakan berdasarkan sumber-sumber utamanya. Inilah yang menjadi nilai lebih dari buku ini, karena tidak hanya melulu berbicara tentang biografi seorang tokoh melainkan hampir seperti buku sejarah. Sejarah tentang pergerakan melawan bangsa kolonial yang dilakukan oleh rakyat Aceh. Didalamnya, ada berbagai macam kisah yang berlatar belakang dengan perjuangan dan pengalaman-pengalaman spiritual dan religius yang dialami oleh Abu Habib Muda Seunagan.

Salah satu contohnya adalah cerita tentang “Hikayat Perang Sabil”. Abu menggunakan cerita “Hikayat Perang Sabil” karya seorang ulama penyair Tengku Syekh Muhammad lahir tahun 1836 M di Desa Pante Kulu Kumukiman Titeu Kecamatan Keumala Pidie. Oleh Abu, Hikayat Perang Sabil dijadikan media dakwah untuk membangkitkan semangat perang dan Jihad Fi Sabilillah melawan Belanda. Sebelum para pasukannya berangkat ke medan perang, terlebih dahulu dikisahkan tentang Hikayat Perang Sabil. Karena kewalahan melawan militansi dan perlawanan dari rakyat Aceh, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya melarang membaca, menyampaikan dan mendengarkan tentang Hikayat Perang Sabil.

Dalam buku ini dikisahkan pula keterlibatan dan kepeloporan beliau dalam mempertahankan tetap utuhnya NKRI di Aceh. Pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mr. Ali Sastromidjojo, tepatnya tanggal 21 September 1953, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh mantan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanag Karo dan mantan Gubernur Aceh pertama.

Tengku Muhammad Daud Beureuh memproklamirkan bahwa Aceh adalah Negara Islam dan mengangkat senjata melawan pemerintah pusat. Sikap Daud Beureuh ini banyak mendapat tentangan dari ulama Aceh sendiri, termasuk diantaranya Abu Habib Muda Seunagan yang pada akhirnya terjadilah perang Aceh atau peristiwa berdarah.

Abu Habib Muda Seunagan dalam rapat umum di desa Peulekung pada tanggal 17 November 1953 yang dihadiri oleh ribuan pengunjung secara tegas menyatakan menentang tindakan tersebut. Tidak hanya itu, Abu Habib Muda Seunagan juga mempelopori terbentuknya “Pagar Desa” di daerah-daerah yang menjadi basis para pendukungnya. Bersama dengan para pengikutnya, Abu Habib Muda Seunagan akan tetap setia berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia. Sebagai bentuk komitmen terhadap NKRI, Habib juga membentuk pasukan tempur yang terdiri dari para pendekar pedang yang selalu siap siaga menjalankan perintah. Sehingga, suatu ketika terjadi perlawanan antara pasukan pro NKRI pimpinnan Abu Habib Muda Seunagan dengan kelompok yang menentang NKRI.

Itulah sepenggal hikmah tentang komitmen dan perjuanggan beliau terhadap tegaknya NKRI dari rongrongan manapun. Atas jerih payah dan ketulusan beliau pula akhirnya Abu Habib Muda Seunagan dipanggil ke Istana Negara oleh Bung Karno. Pertemuan yang akrab dan hangat tersebut laksana antara bapak dan anak yang sudah lama tidak berjumpa. Bung Karno sebagai sosok yang lebh muda dan sebagai representasi figur umara’ meminta nasehat dan masukan kepada Habib Muda Seunagan dalam merumuskan dan mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan konflik di Aceh. Abu Habib Muda Seunagan menyarankan agar dalam menyelesaikan masalah Aceh pemerintah pusat lebih menggunakan pendekatan kemanusiawan dan bukan menggunakan cara-cara kekerasan.

Wisata Religi
Tidak sebagaimana umumnya buku-buku biografi, buku yang ditulis oleh Tengku Sammina Daud ini kalau anda baca dan selami secara runtut dari bab per bab akan membawa anda pada suasana berwisata religi/spriritual. Batin anda akan diajak beranjangsana menapaki lika-liku kehidupan dengan berbagai nasehat dan petuah-petuah religius. Terutama sekali, saat kita ikuti perjalanan Abu Habib Muda seunagan dari Aceh menuju Jakarta dan diteruskan dengan perjalanan berziarah ke makam Wali Songo mulai dari Jawa Barat sampai Jawa Timur.

Perjalanan ziarah yang dimulai dari makam Sunan Gunung Jati yang berlokasi di Cirebon Jawa Barat. Sunan Gunung Jati dari silsilahnya masih kakek dari Abu Habib Muda Seunagan. Setelah itu menuju ke Jawa Tengah untuk mengunjungi Masjid Agung Demak dan berziarah ke makam Raden Patah dan berziarah ke makam Sunan Kalijago di Kadilangu Demak. Baru dilanjutkan ke Kudus (Sunan Muria dan Sunan Kudus) dan Jawa Timur yakni Tuban, Gresik dan Surabaya. Dalam setiap kunjungan ziarah, Abu Habib Muda Seunagan terlebih dahulu menemui Juru Kunci makam.

Tidak hanya tentang biografi tokoh atau figur, buku ini juga mengupas tentang dunia tasawuf dan tharikat mulai dari ajaran-ajarannya sampai pada jullak dan juknis dalam menjalankan tharikat atau suluk. Namun sebagai ukuran buku biografi, sumber-sumber yang digali masih terlalu sederhana baik dari sisi narasumbernya dan strategi penggalian datanya. Penulis yakin, sisi kehidupan dari seorang Habib Muda Saunagan jauh lebih kaya lagi akan hikmah untuk pelajaran bagi generasi kedepan. Namun sebagai langkah awal, buku ini cukup layak untuk diapresiasi dan dibaca bagi semua kalangan

Summer Song...The Baxuini Band

Kamis, 02 Juni 2011

Cut Ali Mualim Para Panglima


Cut Ali Mualim Para Panglima
Disusun Oleh : Cut Deza Zati Hulwana
Anggota Aceh Forum Community
Dikutip dari Situs Aceh Forum Community

Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi penyayang.
Allah adalah pelindung saya.
Tiada tuhan melainkan Allah,
Malaikat-malaikat Jibril, Mikail, dan israfil
Berada pada tanga kanan dan tangan kiri saya
Dimuka, di belakang, di atas, dan di bawah saya.

Saya dikelilingi oleh kesaksian
Tiada tuhan selain Allah,
Saya pergi dengan kasih sayang Allah,
Yang menyebabkanku berhasil dalam alam ghaib
Tuhanku adalah Allah.

Itulah sepenggal kutipan doa Cut Ali, seorang pejuang Aceh yang tangguh, yang berperang melawan Belanda. Sebagai salah seorang panglima dari pejuan Aceh, ia memiliki kemampuan ghaib dengan doa-doanya kepada Allah. Doa-doa religius yang menyelamatkanya dari serangkaian pertempuran.

Namun sebagai manusia biasa, Cut Ali juga harus menuai ajal. Pada Mei 1872, pimpinan besar barisan perlawanan Aceh di pesisir barat itu syahid, setelah ditembak seorang marsose Belanda bernama Gosenson dalam sebuah pertempuran.

Cut Ali merupakan spirit perjuangan yang tiada tara. Dalam tahun 1925, di pesisir Barat terjadi huru-hara. Huru-hara itu bermula dari daerah-daerah di bagian selatan, yang saat itu dikuasi Belanda. Namun dengan tak tik gerilya yang diterapkan Cut Ali, ia berhasil membuat ketegangan dipihak Belanda kala itu. Ketegangan yang oleh penulis Belanda, H C Zentgraaf disebutkan hampir-hampir tak terpikulkan.

Sementara dalam tahun 1924, perlawann-perlawanan itu juga terjadi di daerah selatan. Sehingga dalam setiap keude (pasar-red) orang menjadi sangat hati-hati berbicara soal perang. Sementara di malam hari, penduduk disibuki dengan membaca kitab-kitab suci, dan mengobarkan semangat jihat memerangi Belanda.

Tentang gelora perlawanan itu, Zentgraaff menulis. “Di daerah pesisir Barat, jiwa dan semangat berjuang lama yang menyala-nyala adalah yang paling lama bertahan, senantiasa terdapat ketegangan yang pada setiap saat meledak. Penduduknya, memang membungkukkan kepalanya setelah operasi-operasi besar yang lampau, namun dalam semangatnya mereka tidak banyak berubah atau sama sekali tidak berubah.”

Patroli-patroli Belanda juga semakin kwalahan, karena secara dadakan sering diseragap kelompok-kelompok kecil pejuang Aceh yang mahir menggunakan senjata tajam. “Dalam kemahiran mempergunakan senjata pun mereka tidaklah berkurang,dan di sini, senjata khas adalah kelewang alias”peudeueng” yang panjang,pedang Turki. Seseorang yangnberopleh hadiah dengan sabetan “sabet atas’(how bovenop) dengan pedang ini, akan tamatlah perhitungannya dengan dunia ini,” tulis Zentgraaff.

Penduduk yang berada di daerah Utara dan pesisir timur, banyak juga yang memakai senapan dan senapang kuno (donder bus), dan hal itu disebabkan karena daerah itu keadaannya datar, sehingga memaksa pertempuran-pertempuran harus dilakukan dalam jarak jauh, setidak-tidaknya untuk membuat permulaannya. “Penggunaan senjata api itu bukan berarti bahwa tidak trampil dalam menggunakan lekewang, terutama orang-orang Pidie, mereka adalah jantan-jantan yang berani bertarung sampai mati dengan senjata-senjata tajamnya,” lanjut Zentgraaff.

Di daerah pesisir Barat, dimana semuanya diliputi gunung dan hutan-hutan, haruslah cara bertempurnya berbeda. Tanah yang kasatr dan begunung-gunung ini kebenyakan punya ciri-ciri penyergapan yang khas secara mendadak dari tempat-tempat tersembunyi terhadap pasukan-pasukan patroli Belanda. “Dan musuh melakukan ini dengan semangat fanatisme yang harus kita hormati,” puji Zentgraaff.

sementara di daerah Seunagan, serbuan kelewang tradisional dinilai Zentgraaf lebih berbahaya. Di daerah itu, menurutnya, pejuang Aceh menyerbu dengan sepenuh diri. Bertarung demi kepentingan bersama, melawan Belanda. Hal itulah yang membuat patroli Belanda sering mengalami kekalahan dan susah menaklukkan Aceh sepenuhnya.

Zentgraaff juga menyebutkan, semangat jihat pejuang Aceh yang tingi itu pula yang menjadi momok bagi pasukan Belanda. Bahkan mental pasukan elit belanda, marsose jatuh karena keberanian-keberanian pejuang Aceh. Ia menulis. “Demkianlah, mereka adalah sangat berbahaya terutama bagi serdadu-serdadu kita yang muda-muda. Apabila serombongan musuh yang seperti itu, mengenakan pakaian perangnya yang berwarna hitam, dengan peudeueng panjang yang diayunkan, sambil berteriak menghambur kepada pasukan kita, bagaikan iblis dalam wujud nyata, maka sungguh besar kemerosotan moril serdadu-serdadau kita yang muda-muda, sebagaimana yang kita alami sebagai kerugian kita.”

Masih menurut Zentgraaff. Setiap kesalahan dan kelengahan yang dilakukan oleh komandan-komandan perang Belanda selalu bisa dimanfaatkan oleh pejuang Aceh, yang kemudian membuat jatuh korban di pihak Belanda.

Di Bakongan, terdapat batu nisan kembar, dari atas ke bawah, dan dalam dua jejer, ditulis dengan nama-nama serdadu-serdadu yang tewas pada pasukan yang dipimpin oleh letnan Donner dalam tahun 1905. Pasukan patroli itu dibagi kedalam dua kelompok, berbaris menuju berbagai arah.

Pada malam yang sama, bertempat dikampung Rambong dan Sibabe, kedua pasukan itu dicegat dan hampir seluruhnya tewas bersama letnan Donner. Pasukan yangsatu lagi, bahkan gugur tiga belas serdadu, sementara semua karaben dapat dirampas olah pihak musuh.

Pada serangan mendadak itu, yang terjadi dibagian daerah pesisir Barat tersebut, misalnya yang terjadi dengan pasukan patroli pimpinan Grunefeld, pada bulan Maret 1926, yang bergerak dari Singkil menuju Trumon, disebabkan oleh kurang waspada, merek diserang. Hampir seluruh pasukan belanda itu tewas. Lima belas pucuk karaben pasukan belanda pun beralih tangan ke pejuang Aceh.

Demikian pulalah yang dialami oleh brigade pimpinan kapten Paris, karena kesalahan sedikit saja dari komandannya, maka pejuang Aceh memanfaatkan kesempatan itu di Sape. “Kita masih ingat akan kejadian yang malang itu, sehingga kapten Paris beserta hampir semua prajuritnya tewas, dan berkat seorang marsose jawa bernama Kromodikoro, yang dalam keadaan luka parah mengambil alih pimpinan, sehingga sisa klecil dari pasukan itu dapat menyelamatkan diri sambil melepaskan tembakan-tembakan,” tulis Zentgraaff.

Setiap kekeliruan pasukan belanda itu, harus ditebus dengan darah. Pada tahun 1962, Letnan Molenaarb tewas di sekolah Teureubangan. ”Ia merupakan suatu daftar nama-nama korban yang gugur yang amat panjang dan mengerikan bagi belanda. “Dan, melebihi segala serangan kelewang tersebut tadi yang mereka laksanakan dengan keberanian menentang maut yang tak ada taranya, maka satu gemburan terhadap pasukan Compion dalam bulan April 1904, merupakan serangan kelewang yang paling besar dalam sejarah Aceh.” Jelas Zentrgaaff.

Untuk memburu gerilyawan Cut Ali, Belanda terus mengirim opsir-opsirnya ke Aceh, yakni panglima-panglima marsose kawakan ke daerah pesisir barat. Diantara opsir adalah Snell dan Gesenson. Snell kemudian berhasil mengendus tempat gerilyawan Cut Ali. Ia pun kemudian berangkan dengan kekuatan pasukan delapan brigade.

Dalam penyergapan besar-besaran itu, pasukan Snell berhasil menewaskan salah seorang panglima bernama Teungku Maulud, serta merampas tujuh pucuk karaben dari pejuang Aceh. Meskipun demikian, pertarungan masih jauh dari selesai, Cut Ali sudah sembuh kembali, dan rakyat tetap bersemangat untuk bergabung kepadanya serta para penglimanya.

Musibah yang telah menimpa pasukan patroli pimpinan komandan Paris yang bergerak secara ceroboh itu, sudah menjadi buah bibir, pengaruhnya amat besar pada barisan pejuang Aceh. Tetapi pasukan Cut Ali tidak begitu berhasil menghadapi pasukan patroli pimpinan Batten, yang telah memberikan perlawanan tangguh dan tidak kehilangan satu pun senapang karabennya, walaupun banyak serdadu yang menderita luka. “Pihak lawan menderita 10 orang tewas. Lebih buruk lagi keadaan yang mereka alami tak kala menyergap pasukan patroli pimpinan komandan Klaar, yang memberikan tangkisan sengit serta bertarung dengan cemerlang, sehingga Letnan Klaar menerima tanda jasa nya,” tulis HC zentgraaff, mantan serdadu Belanda yang dimasa pensiunnya menjadi wartawan.

Pada Mei dan Juni 1926, penduduk Trumon bersikap sangat menantang, dan keadaan menampakkan bahwa masih banyak darah akan mengalir. Inti perlawanan itu, dipimpin Cut Ali, yang kembali mengobarkan semangat perang. Nafsu untuk mengadakan petualangan perang berkobar di mana-mana, dan rombongan-rombongan anak-anak muda yang hanya bersenjatakan tajam belaka berani-berani menyerbu karaben-karaben pasukan-pasukan Belanda.

Zentgraaff menggambarkan Cut Ali sebagai seorang tokoh jantan berwatak, yang memiliki jiwa ksatria, yang membuat lawan pun mengaguminya. Pada masa itu ada seorang Kapten, yang menjadi Komandan sebuah bivak militer di Ladang Rimba, yang tidak punya jiwa militer, serta enggan bertempur. “Bivak militer itu di suruhnya buat tiga lapis pagar di sekelilingnya, lengkap dengan jalur berisi ranjau-ranjau, sehingga persis keadaannya seperti suatu benteng terpusat, kenangan yang tidak nikmat untuk diingat. Sudah tentulah dia tidak pernah pergi ke luar bivaknya untuk berpatroli, karena takut terhadap pasukan Cut Ali, dan ini tidak baik,” tulis Zentgraaff.

Terhadap sikap perwira Belanda yang dinilai pengecut tersebut, Cut Ali mengirim surat kepadanya. Isi surat itu, menetangnya untuk berkelahi. “surat-surat tersebut penuh dengan ancaman-ancaman, datang berulang-ulang dan hal ini sungguh memalukan bagi kita,” lanjut Zentgraaff.

Tapi Kapten Belanda itu tidak berkutik. Hal itu pula yang membuat wibawa Cut Ali di mata rakyatnya semakin besar. Seluaruh penduduk merasa puas terhadap keberanian Cut Ali yang telah membuat perwira Belanda mengurung diri dalam bivaknya, takut keluar untuk patroli, apalagi berperang secara frontal.

Keadaan itu kemudian diketahui oleh perwira Belanda lainnya bernama, Behrens. Ia segera berakat dengan pasukanya ke sana. Ia memerintahkan agar Pagar bambu yang berlapis-lapis di sekeliling bivak itu untuk dibongkar dan di singkirkan dari sana. Bahrens terus berusah membangkitkan kembali semangat opara marsose di sana, sampai tahun 1926 suasana menjadi normal kembali.

Kemudian harinya, ketika Letnan Molenaar, anggota pasukan patroli di bawah Komando Behrens, mati terbunuh pada suatu penyerangan pada malam hari di pekarangan sebuah sekolah di kampung Teureubangan- ini adalah perploncoan bagi Teuku Nago untuk dapat menjadi panglima- dan Behrens bergerak pulang membawa mayat opsir tersebut.

Kepadanya kemudian datang seorang penduduk membawa surat Cut Ali. Isi surat itu, “saya berada disini dengan 80 pasukan, dan kalau tuan tidak datang dengan sekurang-kurangnya 120 serdadu, lebih baik tinggal di rumah saja.” Surat yang menantang dari Cut Ali membuat Behrens dan anak buahnya berpikir berulang kali untuk memenuhinya. ”Cut Ali betah sekali membuat surat-surat yang demikian; dia selalu menyediakan berbagai macam surat, dan sebagian surat-surat tersebut dapat kita rampas,” jelas Zentgraaff.

Karena tak mampu memburu gerilyawan Cut Ali, pada Juli 1926, Belanda kemudian mengutus kapten Gosenson untuk membantu Behrens. Gosenson ditunjuk sebagai pejabat Kontrolur bagi daerah Aceh Selatan, yakni Kluet dan Trumon.

Karena itu Gosenson terlebih dahulu menuju ke Trumon, di mana ia melakukan gerak cepat dalam penumpasan dan dalam tempo yang singkat begitu banyaknya memberikan kemplengan. Ia pun menggunakan orang Aceh sebagai mata-mata untuk memburu gerilyawan Cut Ali. Tapi cuak-cuak itu malah lebih banyak yang ketahuan dan mati di tangan Cut Ali.

Gosenson tak kehabisan akal, ia kemudian membuat seruan, gerilyawan Aceh yang menyerah akan diperlakukan dengan baik. Syaratnya, saat menyerah harus menyerahkan satu kelewang, satu rencong atau tombak. Selanjutnya mereka harus menyerahkan diri menurut adat Aceh. Ada sebagian gerilyawan Aceh yang menyerah, tapi lebih banyak dari yang menyerah itu hanyalah sebagai alasan jeda sesaat untuk pulang kampung, sebelum kemudian berbelot lagi menentang Belanda.

Dalam bulan Juli 1926, rombongan Cut Ali masih melakukan lagi serangan kelewang terhadap pasukan patroli pimpinan Schreuder, tetapi tidak berhasil. Karena pasukan itu tidak mengejar mereka, tetapi bahkan sebaliknya bahkan bergerak pulang, maka Cut Ali merasakan itu sebagai suatu kemenangan baginya.

Dia berdiri di tengah kampung, sambil membuat sikap seolah-olah orang yang memperhatikan sesuatu di kejauhan dengan tangan di atas mata nya, meninjau ke hutan dan berkata, “Ho Ka Kompeuni ? “ (Di mana Kamu Pasukan Kompeuni ?) Ini merupakan lelucon besar dan semua orang senang di buatnya. Seluruh Isi Kampung itu ikut mengajuk bertanya, “Di mana Kamu Kompeuni ?” Hal itu adalah untuk menghina kita, dan Cut Ali adalah orang besar yang selalu banyak humornya.

Selama tujuh hari Cut Ali dan masyarakat sekitar mengadakan perayaan di kampung itu. Masakan daging melimpah ruah, semua orang memberikan sumbangan dan ikut berpesta. Ada seorang perempuan yang sangat tua, rambutnya yang beruban putih terumbai pada wajahnya, keriput dimakan penghidupan yang bekerja keras di ladang, menyeret seekor kambing, satu-satunya yang menjadi miliknya.

Dia melakukan sembah dengan hormat kepada Cut Ali sambil berkata, “Nyoe Peuneujoe ulon nibak droeneu teuku ampon.”(“Inilah sumbangan dari saya, pemimpin besar”) Kambing itu kemudian di sembelih dan di buat gulai kambing yang enak. Perempuan tua itu merasa sangat berbahagia, oleh karena hak miliknya satu-satunya itu mendapat berkat pada pemimpin besar yang telah mengalahkan orang-orang Belanda. Setelah pesta itu, Cut Ali dan pasukannya kembali masuk hutan untuk bergerilya, melakukan konsolidasi untuk kemudian kembali melakukan serangan.